Translate

English French German Japanese Korean Chinese Russian Spanish
India Saudi Arabia Netherland Portugal Italian Philippines Ukraina Norwegia
Powered by
Widget translator

Rabu, 19 Januari 2011

DIMANA ADA AIR DISITU BELUM TENTU ADA IKANNYA

Oleh. Noorman Yussalwan

(Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ogan Ilir)


Produk perikanan termasuk dalam kesepakatan penghapusan tarif melalui Early Harvest Program ( EHP ) ASEAN – CHINA FREE TRADE AREA ( ACFTA ) yang dicanangkan pada tahun 2006, dimana pada saat itu Indonesia daya saingnya mengalami penurunan, sementara China menggunakan Indonesia sebagai pasar alternatif. Problem daya saing ini harus direspon dengan peningkatan-peningkatan usaha dibidang perikanan seperti salah satu negara ASEAN yaitu Thailand yang baru-baru ini Bapak Bupati Ogan Ilir melakukan kunjungan atas undangan HKTI, dinegara ” Serba Bangkok ” tersebut produksi ikan Sepat Siam di negara asalnya ini menjadi primadona baik dalam kenyamanan usaha budidaya maupun pengelolaan pasca panen sehingga memiliki cita rasa yang bersaing ( tidak berbau lumpur ), hal ini karena disikapi dan diupayakan secara profesional walaupun dengan teknologi sederhana .


Banyak “ Pepatah- Petitih” leluhur kita dari kehidupan ikan yang sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, antara lain; jangan gairah hidup hanya pasrah seperti ikan mati, kesana kemari hanya mengikuti arus air, sekali-kali lawanlah arus itu (berinovasi atau berkreatifitas). Adalagi tentang kepemimpinan, jadilah pemimpin yang bertanggung jawab kepada bawahan, ibarat orang memilih ikan mati yang dilihat bukan dari buntutnya, tapi dilihat dari kepalanya (insang ikan) dalam pengertian jeleknya anak buah/bawahan ditentukan oleh pimpinannya.

Tetapi ada juga pepatah-petitih itu sudah cenderung tidak relevan lagi khususnya dalam habitat kehidupan ikan itu sendiri yang dulu terkenal “ Dimana ada air di situ ada ikan “ relevansinya sudah begitu lemah disebabkan oleh;

1. Kondisi air itu sendiri, dimana jenis-jenis ikan yang ada baik dari kemampuan hidupnya maupun kemampuan berkembang biaknya sangat tergantung kepada kualitas air, pH, ketersediaan unsur hara dan oksigen. Sehingga beragam tempat sumber air beragam pula jenis ikannya, bahkan ditempat air yang jernih justru kita sulit mendapatkan ikan.
2. Kerusakan lingkungan karena ulah manusia seperti yang sudah diisyaratkan dalam kitab suci al quran diantaranya:
1. sudah banyak sumber air yang tidak berfungsi, anak-anak sungai yang menghubungkan sungai besar dengan rawa/lebak mengalami pendangkalan karena pengendapan lumpur yang terbawa oleh arus dari hulu sungai sebagai akibat kerusakan hutan yang dieksploitasi secara berlebihan / Illegal Loging. Yang pada akhirnya mengakibatkan rawa/lebak beserta cekungan-cekungan alam lainnya yang merupakan sumber pakan ikan yang melimpah, dimana plankton berkembang biak dengan subur mengalami degradasi intensitas ketersediaannya, begitu juga tempat-tempat untuk berkembang biak ikan menjadi tidak nyaman lagi untuk “rendezvouz” dalam rangka menebar keturunan demi memenuhi kebutuhan protein hewani manusia
2. Di ruang lingkup kehidupan/habitat ikan dan sejenisnya terjadi kerusakan yang luar biasa ( Illegal Fishing ), baik keanekaragamannya, kuantitas dan kualitasnya. Eksploitasi dengan menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan, baik peralatan-peralatan tradisional maupun peralatan-peralatan modern menggunakan listrik dan bahan-bahan kimia, termasuk juga penggunaan pupuk anorganik, insektisida dan herbisida dalam usaha pertanian dan perkebunan yang meracuni perairan bersama biota-biota didalamnya.

Melimpah ruahnya jumlah dan jenis ikan/udang diperairan Sumatera Selatan dibawah tahun 70-an hanya sebagai nostalgia saat ini. Pesatnya pertumbuhan penduduk yang sudah diupayakan dengan program Keluarga Berencana tak pelak lagi menimbulkan bencana bagi perkembangbiakan ikan dan sejenisnya. Saat itu boleh dikatakan kita mengkonsumsi ikan masih bisa memilih, baik jenisnya maupun ukurannya, seperti ikan lais, sengarat, udang satang (galah), tapa, baung, arwana, jelawat, aro, tebakang dan lain-lain. Sementara lele (kalang), keli, sepat dan seluang adalah pilihan terakhir. Ikan hias pun masih sering dijumpai seperti kecubang (botia). Ada yang lebih kejam lagi, penangkapan ikan TAPA yang berukuran diatas 20 kg dilakukan disaat rombongan ikan tersebut (kebiasaan Ikan Tapa bertelur secara berkelompok) mau melepas telur didalam anak-anak sungai. Pada saat itulah ikan tersebut diburu dan ditangkapi, sehingga hajat untuk memperbanyak keturunan menjadi gagal, sebab belum sempat melakukan pemijahan secara alami mereka sudah menjadi mangsa manusia berikut dengan telur-telurnya.

Kita memang sering terlena dengan alam, kitapun kurang mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan. Dan tragis lagi disaat kita sadari semuanya harus ditebus dengan tenaga, pikiran dan biayayang mahal. Itupun hasilnya tidak optimal. Kita harus banyak belajar dengan lingkungan dan warisan-warisan nenek moyang. Salah satunya dalam bentuk KEARIFAN LOKAL, seperti di kabupaten Kuningan ( Jawa Barat ) ada sejenis ikan (mirip dengan ikan jelawat/tawes) hidup didalam kolam renang populasinya sampai saat ini terjaga dengan baik, karena ada pameo yang melarang ikan itu jangan di ganggu, ditangkap apalagi dimakan karena nanti akan membawa sial/celaka.

Dilingkungan Provinsi Sumatera Selatan juga ada “Kearifan Lokal” tetapi lemah pembuktiannya, misalnya ikan betutu asal usulnya dari anjing, ikan betook dari tikus, ikan lele dari kecebong kodok, bahkan nenek moyang kita melarang makan ikan banyak-banyak nanti cacingan. Suatu bentuk usaha untuk mengurangi nafsu serakah manusia.

Salah satu hal lagi yang menjadi kealfaan selama ini, dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya perikanan, Provinsi Sumsel yang memiliki wilayah perairan darat dan laut yang cukup luas dengan produksi yang melimpah ruah semestinya sudah sejak masa kejayaan sumber daya alamnya telah menyiapkan SDM bidang perikanan khususnya, seperti halnya Provinsi Kalimantan Selatan dengan potensi sumberdaya perikanan yang hampir sama dengan provinsi kita melalui Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkuratnya sudah banyak mencetak tenaga-tenaga ahli bidang perikanan, sehingga disana kita tidak sulit untuk menikmati hidangan papuyu (betok) udang galah bakar dan melihat budidaya-budidaya ikan air tawar lainnya ( seperti baung, jelawat dan belida), karena upaya-upaya pelestarian sumberdaya perikanan sudah disikapi dan dikelola oleh para pakar dibidang tersebut yang notabenenya berasal dari perguruan tinggi setempat.

Ada secercah harapan untuk disikapi, dimana para pelaku bisnis baik dari ibukota maupun pulau jawa banyak yang melirik Provinsi Sumsel sebagai tempat sasaran aktifitas mereka, karena disini kebutuhan ikan cukup tinggi baik untuk konsumsi sehari-hari maupun untuk kebutuhan home industri , dimana Palembang terkenal dengan produk makanannya serba ikan , disamping itu harganya relatife baik . Kenyataan ini adalah peluang dan tantangan kita untuk membuktikan bahwa kalau mau berbenah diri tidak ada kata terlambat. Lakukan kebijakan-kebijakan stratejik terutama dalam menyikapi pelaksanaan ACFTA khususnya dalam menyiasati arus perdagangan ekspor produk perikanan , baik yang bersumber dari penangkapan maupun budidaya .

Komitmen liberalisasi ACFTA ini sudah diakselerasi oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Bapak Dr. Ir. Fadel Muhammad dengan menggelontorkan program Minapolitan sebagai tulang punggung pencapaian target produksi perikanan 353% pada tahun 2014. dan sampai saat ini di Provinsi Sumatera Selatan sudah ditetapkan 8 Kabupaten/Kota sebagai kawasan Minapolitan dan ini terus dikembangkan sampai 200 Kabupaten/Kota sebagai kawasan Minapolitan di 33 Provinsi. Grand Strategi dan rencana konkrit KKP pada program Minapolitan antara lain; upaya memperkuat kelembagaan dan sumber daya manusia secara terintegrasi, lalu mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Konsep Minapolitan merupakan pengembangan kawasan sentra produksi perikanan mulai dari usaha hulu sampai hilir.

Disamping KKP salah satu institusi yang telah mulai mendukung kegiatan ini adalah Kementrian Pekerjaan Umum (KPU) sebagai penyedia fasilitas infrastruktur. Diharapkan kedepannya semua stakeholders yang terkait dapat melibatkan perannya dalam mensukseskan Program Minapolitan ini, karena kita perlu fokus dan konsisten mengimplementasikan BLUE PRINT pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan dan SDA (Sumber Daya Alam) secara berkesinambungan.

Khusus untuk Kabupaten Ogan Ilir Penetapan Kawasan Minapolitan melalui SK Bupati Ogan Ilir Nomor: 07/KEP/NAKKAN/2010 dengan nama Kawasan Ogan Kelekar (OKE) dan dikukuhkan dengan SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor: 32/MEN/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. Adapun sentra budidaya ikan yang sudah mulai disiapkan oleh Balai Besar Sungai Wilayah VIII Propinsi Sumatera Selatan didesa Burai (tepi sungai Kelekar) berupa pembuatan tanggul pengedaman rawa seluas 500 Ha yang selanjutnya akan ditindak lanjuti dengan Program Kementrian Kelautan dan Perikanan. Mengawali kegiatan tersebut tahun 2011 Bappeda Kabupaten Ogan Ilir akan menyiapkan Master Plan untuk kawasan Minapolitan dengan fokus sungai Ogan dan sungai Kelekar . Mudah-mudahan semua pihak dapat berpartisipasi dan mendukung program ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda